Makalah Sejarah Penyusunan Al Quran
Oleh: Ibrahim Lubis
A. Pengertian Al Quran
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab suci agama
Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup
wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman,
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang
diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam
surat Al-'Alaq ayat 1-5[1].
Secara Etimologi Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti
"bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an
adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya
membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu
surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang
artinya: “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami.
(Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti
{amalkan} bacaannya”
Sedangkan secara terminologi menurut Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan
Al-Qur'an sebagai “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta
diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Sedangkan Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai
firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s.
dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita
secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah,
yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dapat disimpulkan bahwa Al Quran merupakan firman Allah SWT yang
diwahyukan kepada nabi muhammad SAW melalui malaikat Jibril AS dan
membacanya merupakan suatu ibadah. Firman allah yang disampaikan selain
kepada nabi muhammad saw seperti kitab taurat (Nabi Musa), kitab Injil
(Nabi Isa) dan kitab zabur (nabi Daud)tidak termasuk al Quran dan tidak
ibadah apabila membacanya.
B. Nama-nama lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama
lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut
adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
1. Al-Kitab QS(2:2),QS (44:2)
2. Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
3. Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
4. Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
5. Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
6. Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
7. Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
8. Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
9. At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
10. Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
11. Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
12. Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
13. Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
14. Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
15. An-Nur (cahaya): QS(4:174)
16. Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
17. Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
18. Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
C. Struktur dan pembagian Al-Qur'an
1. Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah
(surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat
terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek
hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr.
Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut
ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
2. Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas
surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah).
Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat
tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke
Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat
Madaniyah.
Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek,
menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan
kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya suratnya
panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari'ah).
Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,
sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.[rujukan?]
3. Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian
dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk
memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari
(satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7
bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu).
Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian
subyek bahasan tertentu.
4. Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
a) As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat
Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan
Yunus
b) Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
c) Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
d) Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
D. Sejarah Al Quran hingga berbentuk mushaf
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah
dengan secara adil, objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian
tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an,
sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang
lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
1. Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini
dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW
dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah.
Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah
berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini
disebut surat Madaniyah.
2. Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak
zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang
dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin
Affan.
3. Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang
yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin
Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain
juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media
penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu,
daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang
binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
4. Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam
perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan
tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar
bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut
lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan
Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar
lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas
tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun
secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu
Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf
tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya
mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad
SAW.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat
keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh
adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah
berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia
mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf
yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang
baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara
penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan
dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar
yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses
ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di
antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan
Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad
yang shahih:“ Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan:
Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah
dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan
kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini?
Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya
lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'.
Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat
agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi
perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
”
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an,
keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah
disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim
utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish,
yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin
Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan
memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga
orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al
Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf,
yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah
ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
E. Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan
proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas
makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut
dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau
menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan
tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
1. Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks
Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh.
Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya
dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan
berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang-kadang
untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau
arti dan maksud lainnya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
· Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
· Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
· An-Nur, oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
· Al-Furqan, oleh A. Hassan guru Persatuan Islam
Terjemahan dalam bahasa Inggris antara lain:
· The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
· The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
· Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
· Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
· Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
· Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
· Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
· Al-Amin (bahasa Sunda)
· Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh
KH Abdul Muin Yusuf (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa
Benteng Sidrap Sulsel)
2. Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi
Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika
memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya
Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat
Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga
beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar
ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak
sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.
F. Adab terhadap Al-Qur'an
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang
yang sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan
bahwa jika seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh
menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua mengatakan
boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada dalil
yang menguatkannya.
1. Pendapat pertama
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan
untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini
berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al
Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain: 56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah
bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul
Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
(56:77-56:79)
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur
penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa
penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk
penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada
beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini
dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang
menerapkan hukuman mati.
2. Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di
atas ialah: "Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul
Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78)
kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini
adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah
diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang
dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali
orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian
maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak
ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni
dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya
Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka
yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai
faa’il (subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”[3] Yang
dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an
kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis
sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak
najis”[4]
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/12/sejarah-penyusunan-al-quran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar